Senin, 02 Mei 2016

Industri di dunia pendidikan


“Secara umum Pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses pembentukan prilaku manusia secara intelaktual untuk menguasai ilmu pengetahuan, secara emosional untuk menguasai diri dan secara moral sebagai pendalaman nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh di masyarakat.”

***
Ketika mendengar tentang pendidikan, tentu hal pertama yang timbul di benak kita adalah pendidikan membawa kita dari “kondisi tertindas ke kondisi yang merdeka.” Membentuk karakter, perilaku etika/moral, itulah sebabnya hingga saat ini pendidikan sangat penting di kalangan masyarakat. Namun terlihat nihil ketika kita melihat pendidikan yang sangat liberal di mana-mana, komersialisasi pendidikan, yang berpihak kepada kapitalis bukan kepada moral pendidikan. Pendidikan sejatinya ialah untuk membebaskan dari segala penindasan yang terjadi, namun posisi saat ini berkata lain, pendidikan kita hari ini justru berkata sebaliknya. Ini dibuktikan dengan regulasi yang di terapkan di dunia pendidikan. Mulai dari nepotisme, komersialisasi pendidikan    Permen 22 tahun 2015 tentang UKT BKT, UU no 12 tahun 2012 tentang PT- fasilitas kampus yang berbayar; gedung, bus, parkir, dll. Penyelesaian studi yang mahal, parcel, dan amplop   liberal (Aspek Politik Aspek Budaya Aspek Ekonomi Aspek Sosial), dsb.
Dari fenomena-fenomena di atas khususnya di dunia pendidikan kita, pendidikan yang sejatinya mencerdaskan, membebasakan, dan menciptakan manusia merdeka, malah pendidikan kini menjadi corong masuknya hegemoni kapitalis, dan justru semakin mengajarkan kita untuk tunduk. Tidak jauh beda dengan pendidikan di Era kolonialisme, dan pendidikan “gaya bank” seperti yang dikatakan Paulo Freire.
Bukankah hal ini adalah budaya baru komersialisasi pendidikan? ini menandahkan bahwa komersialisasi di dunia pendidikan adalah budaya para oknum untuk memetik bunga keuntungan dari bisnis manis pendidikan yang tanpa landasan konsisten pada rana perguruan tinggi, hal ini menunjukan bahwa dunia pendidikan hanya memandang perekonomian yang kuat atau lemah, dan ini membuktikan watak komersial dari system pendidikan.
Jadi tidak usah heran apabila saat ini sektor pendidikan dianggap menjadi barang dagangan (dikomersialisasikan), misalnya dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan, ketika komersialisasi pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi masyarakat menengah kebawah akan semakin terenggut, Demokratisasi pendidikan adalah upaya menjadikan pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara tanpa memandang status sosial, ekonomi, etnis, agama maupun latar belakang primordial, demokratis pendidikan juga merupakan upaya menghadirkan pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya, nafas demokratisasi pendidikan bersumber dari Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1 bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tinggi” dan ayat 3 “ Pemerintah wajib mengadakan suatu usaha dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” dan juga di dalam ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4, hal ini pun tercermin ada kalimat “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedang mencerdaskan kehidupan bangsa bukan berarti melalui komersialisasi pendidikan, akan tetapi prestasi. Demokrasi pendidikan kini kian terperosok, terkikis tenggelam dalam redupnya cahaya di dunia pendidikan, terjun bebas dalam  kekuasaan, akibatnya tidak sanggup menjalankan permainan harmonis para birokrat.  Hal ini juga biasanya menjadikan budaya pendidikan politik yang mementingkan oknum tersebut. Hal seperti ini tak bisa disepelekan. Kini negeri kita seakan kembali pada zaman penjajahan. 
Para generasi kritis terus coba tuk dihilangkan. Lebih kejamnya, kita terjajah di negeri sendiri, Mungkinkah kita terus berdiam diri?? Jawabannya adalah “TIDAK.” Melainkan  hanya ada satu kata “LAWAN” begitulah ungkapan sosok sang aktivis Wiji Tukul. Gagasan yang paling mungkin dan harus terus ditumbuhkan ialah mendorong untuk membangkitkan gerakan kolektif di dunia pendidikan perguruan tinggi. Bukan Retorika Belaka!!! Gerakan- gerakan mahasiswa telah menjadi kekuatan penting dalam perubahan praktik politik yang terjadi di dunia kampus untuk melawan bobroknya tindakan korelasi para elit kampus dan kaum kapitalis.
Masih banyak bisnis-bisnis pendidikan yang dilakukan para kaum penindas untuk memuaskan hasrat mereka dan terus melakukan penindasan kepada dunia pendidikan, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan untuk membungkam para intelektual, terutama pada kaum menengah kebawah, bukankah pendidikan untuk membebaskan dari kebodohan secara tidak sadar bukankah ini adalah penindasan pada komersialisasi pendidikan yang telah berusaha memperkosa perekonomian lemah, meskipun demikian, kaum tertindas telah menyesuaikan diri dalam struktur penindasan dimana mereka tenggelam paksa dalam rana komersialisasi pendidika, “Saya Telah Menegaskan Bahwa, Akan Sunggu-Sungguh Naif Untuk Mengharapkan Elite Penindas Melaksanakan Pendidikan Yang Membebaskan”, Komersialisasi pendidikan pada era sekarang sudah tak lagi mementingkan cita-cita bangsa, melainkan bisnis perdagangan (keuntungan para elit),  Artinya selama ini tidak salah jika kita beranggapan bahwa dunia pendidikan itu adalah suatu perdagangan atau suatu bisnis yang ingin menguntungkan pihak yang bersangkutan. Semua tindakan kelas penguasa menunjukan kepada kepentingannya untuk memecah  belah dan mempermudah pelangsungan kedudukan penindas, bukannya didalam pendidikan tinggi  tidak ada perbedaan, penguasa, penengah, dan ataupun tertindas, tujuan dimana semua dimensi teori berkisar dengan cara manipulasi, elite penguasa berusaha membuat pendidik menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan mereka melainkan juga pada para pemegang kuasa di universitas yang berlomba-lomba membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan permainan arus kapitalisme dimasukkan kedalam dunia universitas. “Bobroknya suatu pendidikan ketika memihak kepada kaum kaptalisme”.
Dalam keadaan inilah seharusnya perlu gerakan kebangkitan pergerakan kolektif di dunia universitas bersama semua elemen pemuda, berbuat sesuatu atas ketidak adilan kebudayaan manipulasi para elit terhadap tindakan komersialisasi pendidikan yang berlandaskan pada kapitalis, gerakan mahasiswa jangan hanya menjadi gerakan massa berkedok intelektual, tapi Real bukan Brutal. Gerakan mahasiswa  seolah mengalami disorientasi,  terjebak  dalam romantisasi perjuangan  yang mengalami pengeroposan dan gagal membangun gerakan-gerakan kolektif dalam merespon isu isu yang terjadi pada komersialisasi pendidikan.
“Lawan penindasan pada kaum tertindas,
tolak komersialisasi pendidikan pada para penguasa,
Keberanian untuk Menepis Komersialisasi Pendidikan, adalah jalan utama untuk kemerdekaan kaum tertindas, berjuang demi kembalinya Demokrasi pendidikan, melawan pembodohan terhadapa kaum elit dan membangkitkan kritis mahasiswa”
Salam perjuangan, panjang umur perlawanan…!!!!!

Minggu, 10 April 2016

“KATA TAK BERMAKNA”


kujadikan malammu sebagai kekasihku dan,
kuciptakan ruang yang tak terbatas
kujadikan dirimu sebagai hambaku untuk menjadi penyembahku
kujadikan kataku untuk menikammu,
ketika cintaku berupa kata tak bermakna.

kujadikan diriku sebagai dirimu, dan,
kutemukan cintamu, yang tak lagi berpihak kepadanya.
kujadikan katamu berupa khayalan semu untuk membunuh rasaku
kujadikan jasadmu untuk menemaniku di kala malam-malam berpangkuh teduh pada kejahatan
kujadikan nafasmu sebagai racun untuk membunuh tubuhku ketika cintaku berupa kata tak bermakna

kutemukan rohmu terkubur dalam liang lahat kata ku
kutemukan hidupmu dalam sejarahku yang kusam
kutemukan wajahmu tesenyum menggoda yang tersinari sepi yang kian mendekapku ketika cintaku berupa kata tak bermakna
kumelihat jasadku meninggalkan sejarahmu yang perlahan menikmati hidupku

“Berbeda Bukan Berarti Bebas Menghakimi”


Kopi hitam panas dengan rasa pekat dengan sedikit gula, tersuguhkan sembari menghirup lalu menghembuskan asap rokok yang sedari tadi melingkar melalui mulut-mulut yang acap kali mencomooh, wajahnya pun selalu bersih tak ada kerutan kedengkian yang menghiasi wajahnya. Matanya yang bening sayup dan sedikit bulat tersorot jernih bagai telaga yang memancarkan panorama separuh wajahnya. Bibirnya sedikit tebal bergaris tipis, berwarnah merah jambu hampir selalu  menggerutkan senyum di kala senyum-senyum lain terbalut kedengkian yang kian di poloskan dengan sedikit kelicikan.
***
Di zaman yang penuh perkosaan ideology. Zaman yang penuh bau tubu bercampur mani dengan wangian parfum melatih. perkosaan idealisme kian menciptakan benih-benih baru yang kelak membahagiakan juga kerap kali menghancurkan. Di bahu-bahu jalan terlihat ratusan bahkan ribuan nafas-nafas telah memunafikkan tubuh-tubuh yang baunya bertebaran hingga kemana-mana. Organ-organ dan kelompok dewasa yang menyembah pada agama dan beronani teks, mengkafirkan idiologi yang kerap kali di pandang sebagai penyebar aroma yang berbauh alkohol. Penghakiman terjadi di sana-sini. Ras manusia melawan ras manusia, agama melawan agama, idiologi melawan idiologi, dan politik melawan politik. Banyak yang terluka, bahkan nyawa telah di gantungkan pada tiang-tiang kematian di penghujung jalan pulang.
***
Kopi hitam tetap pada peraduannya, Sebatang rokok tak lagi melingkar dalam cemooh, sedang wajah dan senyumnya tak lagi dapat dipandang dengan indahnya yang selalu menimbulkan rangsangan, sengitan, dan tak ada lagi mata sayup yang jernihnya bagai telaga, yang dapat melihat hitamnya warna kopi.
                                                        ***
Penghakiman terjadi lagi, menyisahkan bau bangkai yang dikerumuni lalat dan belatung, tidak ada bedanya di hakimi dan yang menghakimi, darah yang berkeliaran di bahu jalanan meninggalkan kisah yang kemengannya sebatas ilusi dan hanya menjadi lelucon. Dewasanya kini hanya simbolisasi pecundangan di penghujung jalan kematiannya. Ideologi yang semakin membunuh dan menelanjangi tubuhnya yang terselimuti pedoman-pedoman suci, “mereka menyebut dirinya sebagai kesucian.” Namun bagaimana dengan ideologi dan idealisme yang telah ternodai dengan kemunafikkan dan rekaan? Lagi-lagi langit yang ikut memandangi telah mengamini
***
Matanya yang tak lagi jernih, di lingkri kerutan-kerutan yang telah menjadi saksi penghakiman ribuan nafas-nafas ideologi yang ternodai, Bibirnya sedikit tebal bergaris tipis kini tak lagi berwarnah merah jambu, melainkan hitam pekat. Keyakinan yang menyucikan dirinya adalah pembunuh yang sesungguhnya. Namun hitam kopi dengan pekatnya masih saja tersajikan dengan peraduannya.

Rabu, 30 Maret 2016

KAMPUS BUKAN PENJARA

Sudah saatnya bangun dari tidur panjang kawan, sudah saatnya bangkit untuk amanah yang menanti di penghujung wacana, berhentilah beronani ria wahai  para intelektual, jangan kau renggut idealisme mereka atas nama faedah, moralitas dan kepatuhan.
Aku ingin bertanya. Bertanya tentang banyak hal kepada kalian. Kalian yang telah beranjak jauh pergi meninggalkan kampus, dan kepada  kalian yang masih berada dalam kenyamanan di perbaringan panjang. Sebab, angin laut dan senja memang selalu meninggalkan keindahan yang merah jingga dan juga tanya. Apakah kampus. Lagi-lagi masih saja aku belum berani untuk mempertanyakan sejauh itu. Begitu banyakkah yang telah hilang atau memang di hilangkan? Begitu dalamkah atau dangkal, sehingga pasir-pasir yang berada di bibir laut itu telah ikut hanyut terhempas oleh ombak? Di sana-sini, di balik tebing-tebing aku mendengar suara-suara teriakan para kawan-kawan yang kian surut. Melihat celoteh-celoteh yang lebih mirip sampah mencemari dinding-dinding dunia maya- Yang tak lagi sejernih dahulu, bak senja yang pergi tanpa pamitan kepada gemuruh ombak di lautan.
Seketika aku ingin mempertanyakan perihal kondisi kampus yang lebih mirip penjara, sepertinya tak ada yang mau peduli. Mengapa harus aku, mengapa bukan mereka, yang merasakan apa yang aku rasakan. Merasakan sakit yang masih saja membelenggu, yang tak lagi mampu aku membedakan rasa sunyi dan ramai.

Sore itu, di saat rintik hujan baru saja turun, kami berdiskusi. Banyak hal yang diobrolkan. Aku, dengan gaya cuek mengabaikan mereka. Yang ramainya berbincang tentang kenangan yang telah direnggut, oleh parasit kampus yang telah mati suri, dengan melanjutkan bacaan bukuku yang sempat tertunda. Magrib baru saja berlalu. Yanti kini tiba dari Lombok, Nusa Tenggara Timur, dengan suaranya yang keras tak jelas, meramaikan teras kos, bersama kawan lainnya. Dan sesekali terdengar suara-suara nyanyian serangga kecil bersayap, yang betina memiliki sepasang sungut yang dipakai sebagi pengisap darah.

Senin 21 Maret 2016, kami berdiskusi panjang perihal "UNM dan budaya mahasiswanya"  yang satu persatu kian tersisihkan. Pembahasan yang tak lagi asing di telinga kawan-kawan. Beberapa menit kemudian saya mencoba bergabung dalam diskusi mereka yang lebih mirip lelucon, namun begitu dengan seriusnya diskusi tersajikan, tak terasa perbincangan kami sampai pada pembacaan kami masing-masing tentang dunia kampus. Bukan kami yang ingin terlarut dalam perbincangan ini. Namun suara mereka yang terabaikan memaksa kami kalah dan menyerah pada pangkuan malam. Mereka yang telah lama masuk dalam penjara-penjara kampus, menyanyikan jeritan-jeritan yang terbalut luka, meninggalkan kelopak mata yang hampir basah. Mungkin kami harus berdamai dengan malam yang penuh dengan jerit-jerit manusia yang berlumuran keluh-kesah.

Seorang kawan pernah berkata    kusebut saja namanya M Yunasri Ridhoh    "Banyak hal yang telah hilang. Parahnya, tak ada lagi yang sudi mencarinya. Tak ada yang ingin bersusahsusah memulainya. Dahulu, sudutsudut kampus penuh sesak dengan lingkarlingkar diskusi. Ruangruang kuliah penuh debatdebat dialektis. Hari kehari suarasuara megaphone bersahutsahutan. Di sanasini ramai aktivitas mahasiswa; Olahraga, olahrasa, olahpikir, olahhati, olahkata, olahsosial dan barangkali olahkelamin."

Saya sepakat dengannya, lalu kutambahkan. Dulu disela-sela proses perkuliahan para mahasiswa berbondong-bondong memenuhi perpustakaan, perpustakaan dipenuhi dengan warna-warni, bak pelangi setelah hujan. Halaman-halaman kampus dipenuhi dengan diskusi-diskusi, banyak hal yang mereka diskusikan, pendidikan, politik, sastra, seni, bahkan mungkin diskusi tentang blue film. Namun kini tradisi semacam itu telah langka kutemukan. Bahkan ironinya kaum yang mengaku inteletual itu kini, telah berlomba-lomba meramaikan pelataran-pelataran mal, kafe-kafe hanya untuk gayaan selfie, dan kemudian diunggah ke sosial media, sekadar untuk mengabarkan pada dunia bahwa ia sedang di mal, kafe dan tempta-tempat hedonistik lainnya. Ataukah mungkin pulang ke kos karena gravitasi kasur yang tak tertahankan    mahasiswa kupu-kupu; kuliah pulang-kuliah pulang    dan lebih parahnya lagi terlihat di fakultas siang itu, karena tak kudapati para mahasiswa yang katanya intelektual itu jumlahnya yang banyak hingga 2.692. Mungkin ada yang kuliah, atau seminar proposal, Kuliah Kerja Nyata   KKN   ataukah mungkin ada yang lagi tidur-tiduran di kos, nongkrong di mal.
Inikah wajah kaum yang intelektual itu sesungguhnya?, ataukah wajah yang telah lama tak lagi terdandani, bak geisha Jepang yang cantik nan anggun dengan gincu merah terukir rapi dan merona pipi yang indah saat tersinari cahaya senja. Ah mungkin aku yang terlalu berlebihan.

Namun ternyata tidak, tidak hanya di UNM saja. Kegelisahan ini juga telah dirasakan oleh Fauzan.
Fauzan mahasiswa semester delapan di Universitas Stimik Akba Makassar. Kegelisahannya dengan mencurahkan semua kekesalannya dengan menulisa di sosial media. Saat kudapati statusnya yang mampir ke beranda facebook ku;
Saya percaya, kekuasaan selalu memuncak pada hasrat setiap manusia jika dirangsang seperti birahi. Kemarin, saya dapati kekuasaan memuncak pada hasrat yang terkurung pada satu tubuh manusia, dia teman satu lingkup kampus saya. Luar biasanya, dia berhasil melakukan hegemoni ala Gramsci. Sayangnya orientasi gerakannya, hanya menjadi stimulus untuk keinginan individunya yang terselubung. Ia berusaha menampung aspirasi setiap kelompok, untuk kemudian menjadi seperti gerakan 'milik bersama', dengan menempatkan orang-orang berpengaruh pada tiap kelompok    meskipun 'belum' semua    di bawah kontrol dan pengawasannya. Setelah itu, ia mulai bereaksi, dikuasai seluruh apa yang ia yakini tak akan mendapatkan perlawanan. Dan, tepat, selamat, ia berhasil melalukan apa yang ia ma   cari aman    Namun, di balik kekuasaan yang haus akan kepentingan-kepentingan untuk tujuan individu, ada nyala redup harapan yang kusematkan pada tiap huruf dalam tulisan ini. Ada yang melawan, meski perlawanannya mungkin akan terlihat sangat bodoh, sebab kekuasaan amat pandai memanipulasi kebenaran. Tak akan surut, jika laut masih punya keintiman dengan nelayan yang tidak ingin menaklukkannya, melainkan bersahabat dengannya. Hingga kegelisan ini menggeliat, ada yang sedang bersiap membumihanguskan kebiadaban bernama kekuasaan.” Tulisnya denga gelisah
Aku denga serius membaca statusnya, mencoba memahami dan bergabung dalam setiap bait tulisannya itu. "Kalau saya pribadi bung.  Itu hal yang lumrah di kalangan mahasiswabahkan ada kasus, di mana si pemimpin Lembaga Kemahasiswaitu bergerak bukan atas hati nurani buat masyarakatnya, melainkan karena kepentingan yang bergerak di belakang sehingga dia hanya jadi boneka karena kepentingan itu.” Komentarku dengan berusaha berdamai.
Saya rasa itu sudah terjadi dari dulu hingga sekarang   bahkan 1998   jika kita melihat secara luas. Tapi sangat disayangkan jika individu itu memanfaatkan kepercayaan dalam hal ini amanah, untuk gerakan seperti itu. Sampai kapan seperti ini. saya rasa, tidak ada pemakluman yang secara sukarela menderita di bawah kekuasaan. Jika itu terus dilumrahkan, terlihat seperti tak ada yang bisa dilakukan, kakak.” Balasnya dengan sapaan kakak. Mungkin biar terdengar akrab.
Dengan kesukaanku berdiskusi seputar dunia kampus, dunianya kaum intelektual, aku mencoba membalas komentarnya dengan sedikit ngawur. Ha ha ha. . .  Itu artinya mahasiswa sekarang kurang kesadaran. Mungkin main-mainnya terlalu dekat. Sehingga wajarlah kalau sampai saat ini gerakan-gerakan mahasiswa tidak lagi patut untuk di contoh(i). Kalau amanah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi menurut saya mahasiswa itu lagi asik-asiknya beronani sehingga lupa tujuan dari amanah itu.    Zona nyaman atau cari aman   seakan-akan pada saat ada perubahan dialah yang diagungkan. Padahal hanya pemanfaatan. Dan kita yang sadar akan hal itu harus tetap dalam barisan untuk memperbaiki, harus cerdik membaca kondisi dan jangan hanya pakai kacamata kuda. Ha ha haBagaimana bung. Hati-hati kalau lagi asik-asik beronani     zona nyaman  .” Taggapku dengan sedikit bercanda. Dan kembali keluar dari percakapan.
Beberapa menit kemudian aku kembali ke halaman pemberitahuan dengan sigap, kembali kubaca balasannya. Ha ha ha. Saya rasa bagus ini dijadikan tema diskusi-diskusi kecil-kecilan    biar tidak kapital   , saya tertarik dengan kata 'zona nyaman atau cari aman’ karena dua-duanya sebenarnya menjadi pijakan pemimpin saat ini. Bahasa-bahasa postruk sering kita dapati didengungkan oleh pemimpin-pemimpin yang saat ini sedang beronani seperti yang kita maksud, seperti slogan-slogan ketidakadilan, ketidakbecusan dll, selalu di manfaatkan untuk mulusnya pergerakannya. 'Kita harus cerdik membaca kondisi', saya rasa saat ini saya harus mengikuti saran dari, kakak.” Lagi-lagi dengan menyapaku kakak, padahal aku lebih muda dibanding dengan dirinya.
Ha ha ha. . . Sepertinya ada yang perlu diralat Bung. jangan panggil kakak. Karna saya mahasiswabaru semester enam’ he he he. . .” Dengan sedikit menekan, dan cengengesan. “Tetap saja dalam barisan selama itu tujuan kita baik Insya Allah hasilnya akan baik. Karena hasil tidak pernah menghianati proses. . . Ha ha ha. Masih nada bercanda.
Wah, saya baru semester delapan. Wah, saya tenang, teduh, dan bahagia mendengar masih ada 'barisan' yang kita maksud. Saya kira sekarang gerakannya sudah sektarian.” Balasnya dengan singkat.
“Ha ha ha. . . Ternyata senior. "tabe senior"   bercanda   ha ha ha. . . Jangan sampai gerakannya "sektarian" kanda. Karena ada masanya di mana kita dihianati atau menjadi penghianat. ha ha ha. . .” balasku, Dengan nada mengancam. Sedikit kurang yakin.
Di tambah lagi fungsionaris LK yang hanya mementingkan eksistensinya.
Mereka, aku dan dia telah berada dalam lingkup yang indah dalam barisan para intelektual muda yang mengatasnamakan idealisme, berada dalam lembaga kemahasiswaan namun lagi-lagi hanya ilusi yang mampir tanpa permisi, beranjak tak berpamitan, mereka yang berbalut PDH    Pakaian Dinas Harian    dengan menggenggam secuil kertas   SK   yang siap membimbing para intelek lainnya, telah asik ber-onani. Namun itu ternyata hanya ilusi belaka kini rasanya berfikir dan membalikan badan untuk melihat yang telah terjadi di kejauhan sana, seolah tak ingin beranjak namun jelas nampak apa yang terjadi hingga saat ini seolah mati dalam kehidupan.
Aku yang setiap harinya disibukan oleh pikiran-pikiran kotor    lembaga yang kian mandul dan terpinggirkan  . membayangkan apa yang terjadi pada tahun-tahun yang berlalu, yang berdampak di masa kini, melihat semuanya seakan tak lagi ingin memandang sosok yang hanya membanggakan dirinya dalam secuil kertas yang jorok   kertas pengesahan dalam berlembaga, yang mencoba mematikan lembaga secara perlahan, mereka tak mampu lagi membawa wibawa lembaga.
Hingga saat ini, sebagian kawan-kawan masih terjebak dalam apatis, autis, hedonis, pragmatis. Sebagian lagi gelisah, namun kegelisahannya hanya sekedar ‘gelisah’, tak banyak dari mereka yang memulai untuk melakukan pergerakan, hanya kebanyakan keluh-kesah. “Seperti aku, terkadang.”
Namun begitu pada saat banyaknya, suara-suara protes para intelektual, kaum tertindas, perampasan hak kawan-kawan, dan kebijakan-kebijakan yang tak lagi pro terhadapa mahasiwa, seakan hanya lelucon yang patut untuk ditertawakan, “memang sedikit yang mengambil risiko, lebih banyak yang memilih tidak neko-neko    najwa sihab  .

Pendidikan Yang Kian Menepi


Orang - orang terpelajar yang tersia-saiakan,
karena transisi politik yang mematikan
pedidikan kian menepih tak lagi mampu melirik,
karena kini semuanya enyah akibat krisis money politik.
pendidikan kini menjadi ladang bisnis untuk mereka para elit,
yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Tak sedikit memandang dunia pendidikan,
 namun mempertontonkan dunia politik yang licik keji.
akibatnya tak sedikit dari mereka yang lari untuk mencapai mimpi
dengan menempuh jalan yang kecil meskipun harus tercaci maki