Rabu, 30 Maret 2016

KAMPUS BUKAN PENJARA

Sudah saatnya bangun dari tidur panjang kawan, sudah saatnya bangkit untuk amanah yang menanti di penghujung wacana, berhentilah beronani ria wahai  para intelektual, jangan kau renggut idealisme mereka atas nama faedah, moralitas dan kepatuhan.
Aku ingin bertanya. Bertanya tentang banyak hal kepada kalian. Kalian yang telah beranjak jauh pergi meninggalkan kampus, dan kepada  kalian yang masih berada dalam kenyamanan di perbaringan panjang. Sebab, angin laut dan senja memang selalu meninggalkan keindahan yang merah jingga dan juga tanya. Apakah kampus. Lagi-lagi masih saja aku belum berani untuk mempertanyakan sejauh itu. Begitu banyakkah yang telah hilang atau memang di hilangkan? Begitu dalamkah atau dangkal, sehingga pasir-pasir yang berada di bibir laut itu telah ikut hanyut terhempas oleh ombak? Di sana-sini, di balik tebing-tebing aku mendengar suara-suara teriakan para kawan-kawan yang kian surut. Melihat celoteh-celoteh yang lebih mirip sampah mencemari dinding-dinding dunia maya- Yang tak lagi sejernih dahulu, bak senja yang pergi tanpa pamitan kepada gemuruh ombak di lautan.
Seketika aku ingin mempertanyakan perihal kondisi kampus yang lebih mirip penjara, sepertinya tak ada yang mau peduli. Mengapa harus aku, mengapa bukan mereka, yang merasakan apa yang aku rasakan. Merasakan sakit yang masih saja membelenggu, yang tak lagi mampu aku membedakan rasa sunyi dan ramai.

Sore itu, di saat rintik hujan baru saja turun, kami berdiskusi. Banyak hal yang diobrolkan. Aku, dengan gaya cuek mengabaikan mereka. Yang ramainya berbincang tentang kenangan yang telah direnggut, oleh parasit kampus yang telah mati suri, dengan melanjutkan bacaan bukuku yang sempat tertunda. Magrib baru saja berlalu. Yanti kini tiba dari Lombok, Nusa Tenggara Timur, dengan suaranya yang keras tak jelas, meramaikan teras kos, bersama kawan lainnya. Dan sesekali terdengar suara-suara nyanyian serangga kecil bersayap, yang betina memiliki sepasang sungut yang dipakai sebagi pengisap darah.

Senin 21 Maret 2016, kami berdiskusi panjang perihal "UNM dan budaya mahasiswanya"  yang satu persatu kian tersisihkan. Pembahasan yang tak lagi asing di telinga kawan-kawan. Beberapa menit kemudian saya mencoba bergabung dalam diskusi mereka yang lebih mirip lelucon, namun begitu dengan seriusnya diskusi tersajikan, tak terasa perbincangan kami sampai pada pembacaan kami masing-masing tentang dunia kampus. Bukan kami yang ingin terlarut dalam perbincangan ini. Namun suara mereka yang terabaikan memaksa kami kalah dan menyerah pada pangkuan malam. Mereka yang telah lama masuk dalam penjara-penjara kampus, menyanyikan jeritan-jeritan yang terbalut luka, meninggalkan kelopak mata yang hampir basah. Mungkin kami harus berdamai dengan malam yang penuh dengan jerit-jerit manusia yang berlumuran keluh-kesah.

Seorang kawan pernah berkata    kusebut saja namanya M Yunasri Ridhoh    "Banyak hal yang telah hilang. Parahnya, tak ada lagi yang sudi mencarinya. Tak ada yang ingin bersusahsusah memulainya. Dahulu, sudutsudut kampus penuh sesak dengan lingkarlingkar diskusi. Ruangruang kuliah penuh debatdebat dialektis. Hari kehari suarasuara megaphone bersahutsahutan. Di sanasini ramai aktivitas mahasiswa; Olahraga, olahrasa, olahpikir, olahhati, olahkata, olahsosial dan barangkali olahkelamin."

Saya sepakat dengannya, lalu kutambahkan. Dulu disela-sela proses perkuliahan para mahasiswa berbondong-bondong memenuhi perpustakaan, perpustakaan dipenuhi dengan warna-warni, bak pelangi setelah hujan. Halaman-halaman kampus dipenuhi dengan diskusi-diskusi, banyak hal yang mereka diskusikan, pendidikan, politik, sastra, seni, bahkan mungkin diskusi tentang blue film. Namun kini tradisi semacam itu telah langka kutemukan. Bahkan ironinya kaum yang mengaku inteletual itu kini, telah berlomba-lomba meramaikan pelataran-pelataran mal, kafe-kafe hanya untuk gayaan selfie, dan kemudian diunggah ke sosial media, sekadar untuk mengabarkan pada dunia bahwa ia sedang di mal, kafe dan tempta-tempat hedonistik lainnya. Ataukah mungkin pulang ke kos karena gravitasi kasur yang tak tertahankan    mahasiswa kupu-kupu; kuliah pulang-kuliah pulang    dan lebih parahnya lagi terlihat di fakultas siang itu, karena tak kudapati para mahasiswa yang katanya intelektual itu jumlahnya yang banyak hingga 2.692. Mungkin ada yang kuliah, atau seminar proposal, Kuliah Kerja Nyata   KKN   ataukah mungkin ada yang lagi tidur-tiduran di kos, nongkrong di mal.
Inikah wajah kaum yang intelektual itu sesungguhnya?, ataukah wajah yang telah lama tak lagi terdandani, bak geisha Jepang yang cantik nan anggun dengan gincu merah terukir rapi dan merona pipi yang indah saat tersinari cahaya senja. Ah mungkin aku yang terlalu berlebihan.

Namun ternyata tidak, tidak hanya di UNM saja. Kegelisahan ini juga telah dirasakan oleh Fauzan.
Fauzan mahasiswa semester delapan di Universitas Stimik Akba Makassar. Kegelisahannya dengan mencurahkan semua kekesalannya dengan menulisa di sosial media. Saat kudapati statusnya yang mampir ke beranda facebook ku;
Saya percaya, kekuasaan selalu memuncak pada hasrat setiap manusia jika dirangsang seperti birahi. Kemarin, saya dapati kekuasaan memuncak pada hasrat yang terkurung pada satu tubuh manusia, dia teman satu lingkup kampus saya. Luar biasanya, dia berhasil melakukan hegemoni ala Gramsci. Sayangnya orientasi gerakannya, hanya menjadi stimulus untuk keinginan individunya yang terselubung. Ia berusaha menampung aspirasi setiap kelompok, untuk kemudian menjadi seperti gerakan 'milik bersama', dengan menempatkan orang-orang berpengaruh pada tiap kelompok    meskipun 'belum' semua    di bawah kontrol dan pengawasannya. Setelah itu, ia mulai bereaksi, dikuasai seluruh apa yang ia yakini tak akan mendapatkan perlawanan. Dan, tepat, selamat, ia berhasil melalukan apa yang ia ma   cari aman    Namun, di balik kekuasaan yang haus akan kepentingan-kepentingan untuk tujuan individu, ada nyala redup harapan yang kusematkan pada tiap huruf dalam tulisan ini. Ada yang melawan, meski perlawanannya mungkin akan terlihat sangat bodoh, sebab kekuasaan amat pandai memanipulasi kebenaran. Tak akan surut, jika laut masih punya keintiman dengan nelayan yang tidak ingin menaklukkannya, melainkan bersahabat dengannya. Hingga kegelisan ini menggeliat, ada yang sedang bersiap membumihanguskan kebiadaban bernama kekuasaan.” Tulisnya denga gelisah
Aku denga serius membaca statusnya, mencoba memahami dan bergabung dalam setiap bait tulisannya itu. "Kalau saya pribadi bung.  Itu hal yang lumrah di kalangan mahasiswabahkan ada kasus, di mana si pemimpin Lembaga Kemahasiswaitu bergerak bukan atas hati nurani buat masyarakatnya, melainkan karena kepentingan yang bergerak di belakang sehingga dia hanya jadi boneka karena kepentingan itu.” Komentarku dengan berusaha berdamai.
Saya rasa itu sudah terjadi dari dulu hingga sekarang   bahkan 1998   jika kita melihat secara luas. Tapi sangat disayangkan jika individu itu memanfaatkan kepercayaan dalam hal ini amanah, untuk gerakan seperti itu. Sampai kapan seperti ini. saya rasa, tidak ada pemakluman yang secara sukarela menderita di bawah kekuasaan. Jika itu terus dilumrahkan, terlihat seperti tak ada yang bisa dilakukan, kakak.” Balasnya dengan sapaan kakak. Mungkin biar terdengar akrab.
Dengan kesukaanku berdiskusi seputar dunia kampus, dunianya kaum intelektual, aku mencoba membalas komentarnya dengan sedikit ngawur. Ha ha ha. . .  Itu artinya mahasiswa sekarang kurang kesadaran. Mungkin main-mainnya terlalu dekat. Sehingga wajarlah kalau sampai saat ini gerakan-gerakan mahasiswa tidak lagi patut untuk di contoh(i). Kalau amanah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi menurut saya mahasiswa itu lagi asik-asiknya beronani sehingga lupa tujuan dari amanah itu.    Zona nyaman atau cari aman   seakan-akan pada saat ada perubahan dialah yang diagungkan. Padahal hanya pemanfaatan. Dan kita yang sadar akan hal itu harus tetap dalam barisan untuk memperbaiki, harus cerdik membaca kondisi dan jangan hanya pakai kacamata kuda. Ha ha haBagaimana bung. Hati-hati kalau lagi asik-asik beronani     zona nyaman  .” Taggapku dengan sedikit bercanda. Dan kembali keluar dari percakapan.
Beberapa menit kemudian aku kembali ke halaman pemberitahuan dengan sigap, kembali kubaca balasannya. Ha ha ha. Saya rasa bagus ini dijadikan tema diskusi-diskusi kecil-kecilan    biar tidak kapital   , saya tertarik dengan kata 'zona nyaman atau cari aman’ karena dua-duanya sebenarnya menjadi pijakan pemimpin saat ini. Bahasa-bahasa postruk sering kita dapati didengungkan oleh pemimpin-pemimpin yang saat ini sedang beronani seperti yang kita maksud, seperti slogan-slogan ketidakadilan, ketidakbecusan dll, selalu di manfaatkan untuk mulusnya pergerakannya. 'Kita harus cerdik membaca kondisi', saya rasa saat ini saya harus mengikuti saran dari, kakak.” Lagi-lagi dengan menyapaku kakak, padahal aku lebih muda dibanding dengan dirinya.
Ha ha ha. . . Sepertinya ada yang perlu diralat Bung. jangan panggil kakak. Karna saya mahasiswabaru semester enam’ he he he. . .” Dengan sedikit menekan, dan cengengesan. “Tetap saja dalam barisan selama itu tujuan kita baik Insya Allah hasilnya akan baik. Karena hasil tidak pernah menghianati proses. . . Ha ha ha. Masih nada bercanda.
Wah, saya baru semester delapan. Wah, saya tenang, teduh, dan bahagia mendengar masih ada 'barisan' yang kita maksud. Saya kira sekarang gerakannya sudah sektarian.” Balasnya dengan singkat.
“Ha ha ha. . . Ternyata senior. "tabe senior"   bercanda   ha ha ha. . . Jangan sampai gerakannya "sektarian" kanda. Karena ada masanya di mana kita dihianati atau menjadi penghianat. ha ha ha. . .” balasku, Dengan nada mengancam. Sedikit kurang yakin.
Di tambah lagi fungsionaris LK yang hanya mementingkan eksistensinya.
Mereka, aku dan dia telah berada dalam lingkup yang indah dalam barisan para intelektual muda yang mengatasnamakan idealisme, berada dalam lembaga kemahasiswaan namun lagi-lagi hanya ilusi yang mampir tanpa permisi, beranjak tak berpamitan, mereka yang berbalut PDH    Pakaian Dinas Harian    dengan menggenggam secuil kertas   SK   yang siap membimbing para intelek lainnya, telah asik ber-onani. Namun itu ternyata hanya ilusi belaka kini rasanya berfikir dan membalikan badan untuk melihat yang telah terjadi di kejauhan sana, seolah tak ingin beranjak namun jelas nampak apa yang terjadi hingga saat ini seolah mati dalam kehidupan.
Aku yang setiap harinya disibukan oleh pikiran-pikiran kotor    lembaga yang kian mandul dan terpinggirkan  . membayangkan apa yang terjadi pada tahun-tahun yang berlalu, yang berdampak di masa kini, melihat semuanya seakan tak lagi ingin memandang sosok yang hanya membanggakan dirinya dalam secuil kertas yang jorok   kertas pengesahan dalam berlembaga, yang mencoba mematikan lembaga secara perlahan, mereka tak mampu lagi membawa wibawa lembaga.
Hingga saat ini, sebagian kawan-kawan masih terjebak dalam apatis, autis, hedonis, pragmatis. Sebagian lagi gelisah, namun kegelisahannya hanya sekedar ‘gelisah’, tak banyak dari mereka yang memulai untuk melakukan pergerakan, hanya kebanyakan keluh-kesah. “Seperti aku, terkadang.”
Namun begitu pada saat banyaknya, suara-suara protes para intelektual, kaum tertindas, perampasan hak kawan-kawan, dan kebijakan-kebijakan yang tak lagi pro terhadapa mahasiwa, seakan hanya lelucon yang patut untuk ditertawakan, “memang sedikit yang mengambil risiko, lebih banyak yang memilih tidak neko-neko    najwa sihab  .

Pendidikan Yang Kian Menepi


Orang - orang terpelajar yang tersia-saiakan,
karena transisi politik yang mematikan
pedidikan kian menepih tak lagi mampu melirik,
karena kini semuanya enyah akibat krisis money politik.
pendidikan kini menjadi ladang bisnis untuk mereka para elit,
yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Tak sedikit memandang dunia pendidikan,
 namun mempertontonkan dunia politik yang licik keji.
akibatnya tak sedikit dari mereka yang lari untuk mencapai mimpi
dengan menempuh jalan yang kecil meskipun harus tercaci maki

KAMPUS DAN WAJAH-WAJAH LIAR


Malam yang tak kuharapkan. Sebab, hujan turun dan mengguyur tubuhku sehingga pakaiannku basah. Sembari berlari untuk berteduh di selasar gedung BC    ruang perkuliahan    Terlihat sosok perempuan di kejauhan sana, tampak sedang  memandang majalah dinding, sepertinya sedang menunggu seseorang. Dengan senyumannya yang dingin, rambut panjangnya sengaja dibiarkan terurai hingga ke pinggul. pakain yang juga basah akibat hujan yang tiba-tiba menjebak. Langkah demi langkah, aku menghampiri perempuan di ujung selasar itu. Ku lihat dia yang mulai menyandarkan badanya di balai bambu    tempat diskusi para  mahasiswa    Dengan rasa ragu dan sedikit takut, Entah apa yang terlintas dibenakku sehingga aku memberanikan diri membalas senyumnya yang dingin.
“Namaku Mayang, aku mahasiswa dari fakultas ungu.” Sapanya, membaca wajahku dengan mimik bertanya. Mencoba menenangkan hati dengan rasa parno yang menari-nari di pikiranku. Malam itu hujan sangat deras. Kami berusaha menghangatkan badan dengan banyak hal yang kami bicarakan. Seputar perempuan di dunia kampus dan penghuninya yang apatis terhadap masalah sosial yang terjadi di sekitar kami.
“apa kepentinganmu. Sehingga kamu bisa sampai di fakultas kuning ini?,” tanyaku masih dengan pikiran parno, dan cakap yang gugup. “Aku datang untuk menemuimu. Dan menunggumu sedari tadi.” Katanya dengan nada tegas, sembari menghirup aroma tanah yang telah lama tak disapa oleh hujan.  

Aku berdiam sejenak, dengan pikiran yang membingungkan, hal apa yang menarik sosok perempuan ini untuk menemui aku. “Aku dengar kabar dari temanku, dia banyak cerita tentang dirimu. Katanya kamu selalu gelisah karna melihat masalah yang begitu banyak di sekitarmu.” Sembari menggosokan kedua tangannya agar terasa hangat. Ehmm… Tentang perempuan mungkin?.” Tegurnya. Aku menarik nafas panjang, lalu perlahan ku hembuskan kembali. “Kita sama-sama perempuan. Pasti kamu tahu, bagaimana perasaan seorang perempuan ketika melihat masalah yang menimpah perempuan lainnya.  Sambarku masih dengan perasaan membingungkan.

Aku berpikir perjuangan perempuan masa silam tak ada yang sia-sia.     Sia-sia ketika perempuan di jaman modern ini tak lagi mampu mempertahankan perjuangan dan melanjutkannya. Begitu banyak perempuan dalam penindasan yang tak kunjung mendapatkan ampunan entah itu penindasan yang mengotori pikiran mereka    hedonisme kalangan mahasiswa karena gengsi    atapun rasa takut. Mungkin karna tekanan dari para elit kampus. Akibatnya pikiran-pikiran yang terbelenggu tak dapat lagi mampu berucap. Aku menatap Mayang, dengan pikiran yang begitu menumpuk. Aku bingung entah bagaimana menjelaskan kepadanya. Namun ini jelas kesempatan buat aku mengeluarkan segalah keluh kesahku terhadap perempuan-perempuan yang telah terlenah dalam lingkaran apatis. Terkhusus mereka yang mengaku dirinya sebagai Mahasiswa “moral force”.

Mayang sepertinya membaca pikiranku, dengan pikiran-pikiran membingungkan, yang masih saja senang menari-nari dibenaku. “Kamu tahu pada saat aku berada di posisimu, aku merasakan kesakitan sama seperti yang kamu rasakan seka.  . . .  perkataanya ku sambar. “Aku masih bertanya mengapa para perempuan pada umumnya masih saja terbalut dengan apatis”? tanyaku tergesah dengan memotong perkataanya. “Tak berani bersuara menuntut hak-haknya. Mereka masih saja sikap apatis. Dulu mahasiswi-mahasiswi menjadi lebih independen dan mandiri karena mereka memiliki banyak pengetahuan, pengalaman dan kecakapan-kecakapan, ditambah lagi dengan keberaniannya. Lah sekarang bagaimana?” . Tanyaku dengan suara sesak.

Aku berusaha menahan diriku, untuk tidak meluapkan emosiku kepada Mayang. Meskipun Mayang, mengetahui perasaanku. Hingga tak terasa, satu jam berlalu, hujan tak kunjung redah. Aku menawarkan Mayang menetap di sekret untuk malam ini, karna malam semakin larut. Mayang mengiyakan. Dan kami pun melanjutkan bincang-bincang, sembari mengeringkan pakaian yang mulai lembab. Kami berdua hanya mengenakkan pakaian dalam, sebab tidak ada pakaian cadangan di lemari sekret, melainkan selimut yang tersisa dari penginapan kemarin. Kami kembali berdiskusi, kumulai dengan mengajukan kembali pertanyaanku yang tadi belum sepenuhnya terjawab. Dengan mengabaikan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. “aku mencoba apatis, beberapa bulan yang lalu, tapi karna rasa sakit yang tak mampu kubendung, akhirnya aku memulai untuk memperdulikan mereka lagi. Mereka-mereka di sekelilingku”. Meskipun kata mereka aku kepo. Membuka perbincangan yang sesekali kaku. “Tapi karna mereka masih saja belum sadar sepenuhnya, akhirnya aku mengambil jalan pintas. Dengan mencoba mempelajari kemauan mereka. Namun itu sulit.” Sejenak aku terdiam, hening dan melihat Mayang.  Ternyata dia ketiduran, mungkin sangat lelah. Juga, aku pun mulai merebahkan tubuhku yang masih kedinginan dan kami masih mengenakkan pakaian dalam, dan hanya satu selimut kecil yang menutup tubuh kami. Perasaanku yang parno mulai tersisihkan. Akhirnya aku tertidur dengan pulasnya.

Mata hari pagi menyambutku dengan cahanya yang masuk keruang sekret melalui lobang-lobang jendela yang kecil. Hangatnya mulai terasa. Aku terbangun, pandanganku terlintas seketika mengarah ke jam dinding bergambarkan lambang FCB.
Jarum jam menunjukkan pukul 06 : 45, tepatnya tanggal 8 maret 2016, hari itu bertepatan dengan “HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL.” Aku terbangun dengan selimut yang masih terbungkus hangat di tubuhku. Mayang sepertinya lebih dulu bangun, dia telah beranjak dan meninggalkan beribu pertanyaan yang masih berada di benakku.
“Mayang meninggalkanku pergi begitu saja, dengan meninggalkan pertanyaan yang tak kunjung dijawabnya.”

Aku berkemas dan meninggalkan sekret untuk pulang kerumah. Membersihkan tubuhku yang sedikit berpasir sebab tertidur di lantai tanpa alas. Sembari berjalan kehalaman fakultas. Dari kejauhan terdengar suara teriakan dari balik gedung kampus yang tinggi, seakan memandangku dengan sinis. Memanggilku dengan nada yang membuatku merinding. Tapi rasa penasarannku lebih kuat dari pada rasa untuk cepat-cepat ingin pulang. Sesampainya aku di depan gedung tinggi itu, aku melihat Mayang bersama massa yang sedang aksi dengan membawa petaka-petaka bertuliskan celoteh-celoteh tentang perjuangan perempuan. Tapi anehnya aku mendapatkan begitu lebih banyak massa laki-laki, dibanding massa perempuan.

Aku mencoba melangkah lebih dekat. Namun sosok perempuan yang berada di sampingku berjalan, beriringan denganku.  Menegurku dengan tatapan yang tak begitu mengenakkan. “kamu salah satu di antara mereka?.” Tanyanya sesekali melempar pandangan kearah massa yang sedang asiknya aksi. "Aku mencoba melawan egoku, untuk tidak membalas pandangannya yang begitu kejam kepadaku. Perasaanku mengatakan hal itu “bukan, tapi mungkin sebentar lagi, berada dalam barisan mereka.” Perempuan itu tiba-tiba pergi, tanpa mengakatakan kata perpisahan. Aku mencoba mendekat dan memperlihatkan diriku kepada Mayang. “Semoga saja Mayang melihatku.” Ucapku dalam hati sambil mengangkat kepalaku. Namun Mayang masih saja belum memandangku, mungkin karna dia asik-asiknya aksi dengan memegang megaphone sambil meneriakkan keluh-kesahnya.  Berhasil, Mayang melihat dan menghampiriku, dengan megaphone di tangannya.

Dari saku bajunya, kutahu bahwa Mayang ternyata pimpinan dari lembaga kemahasiswaan di fakultasnya. Disitu tertera jabatannya “Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa”
Aku terkejut, sedikit kagum. Ternyata perempuan yang menungguku di selasar malam kemarin,  dengan senyumnya yang dingin, adalah seoarang Aktivis. “kamu. . . ?” tanyaku teerkejut. Mayang tertawa melihatku dengan wajah terkejut “kamu panas-panasan. sedang apa kamu disini?” hari itu terik, matahari semakin tinggi.
“dari kejauhan aku melihatmu, dan mendengar teriakan aspirasi- aspirasi tentang hak-hak perempuan.” Aku tertarik mendengarnya
“seperti itulah faktanya”
“Fakta apa?”
“Kekerasan perempuan, penindasan di mana-mana, dan tak patut mendapatkan pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya  perempuan, “katanya” hanya akan menjadi ibu rumah tangga kelak. Dapur, sumur, dan kasur.” Seperti itulah siklus perempuan, tak sedikit yang menilai itu.
Bagiku bukan suatu alasan sejauh ini harus turun aksi kan?
Bagimu, tapi bagiku!. Debat dangan nada mencoba bersahabat. Aku terdiam, dan menundukan kepalaku, sembari menarik nafas panjang.
“Kamu pulanglah, wajahmu berminyak.” Mencolek hidungku. Setelah itu kita bertemu di taman mawar,    taman tempat para perempuan penghibur kala malam   .”tapi bukannya tempat itu.?” Tanyaku dengan tak yakin.  “Aku tunggu malam nanti jam 10. Jangan sampai telat. Sambarnya.  Meninggalkanku dengan pandangan perhatian.

Kemudian aku pulang kerumah dan membersihkan tubuhku, membasuh wajahku yang berminyak. Dan kembali tertidur, hingga menjelang sore. Azan magrib berkumandang, aku terbangun kaget, mungkin akibat pikiran yang tak lelahnya menari-nari. Aku bersiap-siap untuk ketaman mawar. Jam menunjukkan pukul 09 : 21. Aku datang lebih awal untuk mencoba menghindar dari jebakan hujan lagi.
Aku tiba di taman mawar. Dikejauhan kulihat Mayang. Mengenakan pakain. Setengah terbuka orang-orang menyebutnya. Berpakaian namun sedikit telanjang. Mengenakan rok mini diatas lutut dengan belahan samping hingga ke bokong. Pakaian tanpa lengan, sedikit payudaranya terlihat ke atas. Kulihat dia bersama ketua jurusanku. Sepertinya  berusaha membujuk menemaninya tidur untuk beberapa malam.

Ingin meninggalkan taman mawar, namun lagi-lagi rasa penasaranku tak bisa diajak kompromi. Hingga akhirnya. Mayang melihatku dan mencoba menghampiriku. Sebab aku  terkejut dan berusaha menghindari tatapannya. “Intan, intan, tan. . .” panggilnya dengan nada marah.  “Aku bilang siang tadi, kita ketemu jam 10. Tapi kamu tidak bisa menepati janji”.
“aku tiba lebih awal, takut hujannya menjebak lagi”
“Alasan saja, buktinya tidak hujan!!”
“itu ketua jurusanku?” tanyaku. sambil menengok ke belakang.
“siapapun dia, saya tidak peduli”. Perjumpaan kami kali ini dipertemukan dengan perdebatan
“ayam kampus”. Kataku ketus
“siapapun aku tidak merugikan kamu”. Labraknya sinis, Mendengar perkataanku. Kemudian Mayang menarikku, membawaku keluar dari taman, menuju vila yang berada di sekitar taman mawar.
Setelah berada di vila, mayang membuka semua kebusukan para birokrasi, sekaligus juga menelanjangi kelakuan para aktivis kampus. Yang dengan mudahnya mereka diayar. Menjual idealisme kepada birokrasi, karena alasan kepentingan pribadi. Tak terasa sudah sejam berlalu kami berbincang.
“Meskipun aku dari keluarga borjuis, aku tak ingin membelenggu lisanku, meski satu katapun.”
“Lantas kenapa kamu menjadi ayam kampus”.? Sambarku hendak menggati topik yang sedikit monoton
“memepertahankan penindasan yang terjadi di dunia kampus itu bukan lelucon”. Mayang suntuk, dengan nada tersinggung. menjelaskan semua masalah yang terjadi dalam lingkup mahasiswa. Dari penjualan idealisme, penjualan nilai,  hingga penjualan diri. Ragamlah tak ada bedanya seperti pasar tradisional pada umumnya, yang berbaris di pinggir jalan.

Kang Maman     Maman Suherman - no tulen ILK   pernah berkata kepadaku, banyak perempuan yang tak ingin menjual tubuhnya, namun karna perekonomian yang memaksa harus melakoni dunia malam, bahkan rela direnggut nyawanya ketika tidak melayani para hidung belang. Seingatku. Tapi mengapa dengan mayang, borjuis, cerdas, cerdik, cantik. Masih senang menjadi ayam-ayam kampus?
“aku menjadi ayam-ayam kampus. bukan karna materi, tapi karna alasan bahwa dunia intelektual kini tak lagi perawan. Banyak dari mereka telah menghancurkan pendidikan karna jebakan politik praktis dan lainnya, lebih asik beronani gagasan.”
Aku pernah mendengar dialog. bahwasanya dunia mahasiswa itu suci, karna tak ada kepentingan yang bermain. Tapi kenyataannya saat ini, bukan hanya dari kalangan birokrasi melainkan juga dari kalangan kamipun juga bermain dengan indahnya. Menjadikan lembaga sebagai boneka yang setiap saat menari. Bahkan banyak dari kaum    mahasiswa, telah memainkan perannya untuk menguasai kelempok tertentu, karna gengsi dan merasa dirinya lebih dewasa dibandingkan dari yang lainnya.  “Pulanglah, hari sudah larut. istrahatlah, hentikan kegelisahanmu, tapi jangan beranjak dari tujuanmu  itu. Aku pergi, meninggalkan mayang. Dengan pikiran semakin gelisah. Yang tak mampu kebendung.