Rabu, 30 Maret 2016

KAMPUS DAN WAJAH-WAJAH LIAR


Malam yang tak kuharapkan. Sebab, hujan turun dan mengguyur tubuhku sehingga pakaiannku basah. Sembari berlari untuk berteduh di selasar gedung BC    ruang perkuliahan    Terlihat sosok perempuan di kejauhan sana, tampak sedang  memandang majalah dinding, sepertinya sedang menunggu seseorang. Dengan senyumannya yang dingin, rambut panjangnya sengaja dibiarkan terurai hingga ke pinggul. pakain yang juga basah akibat hujan yang tiba-tiba menjebak. Langkah demi langkah, aku menghampiri perempuan di ujung selasar itu. Ku lihat dia yang mulai menyandarkan badanya di balai bambu    tempat diskusi para  mahasiswa    Dengan rasa ragu dan sedikit takut, Entah apa yang terlintas dibenakku sehingga aku memberanikan diri membalas senyumnya yang dingin.
“Namaku Mayang, aku mahasiswa dari fakultas ungu.” Sapanya, membaca wajahku dengan mimik bertanya. Mencoba menenangkan hati dengan rasa parno yang menari-nari di pikiranku. Malam itu hujan sangat deras. Kami berusaha menghangatkan badan dengan banyak hal yang kami bicarakan. Seputar perempuan di dunia kampus dan penghuninya yang apatis terhadap masalah sosial yang terjadi di sekitar kami.
“apa kepentinganmu. Sehingga kamu bisa sampai di fakultas kuning ini?,” tanyaku masih dengan pikiran parno, dan cakap yang gugup. “Aku datang untuk menemuimu. Dan menunggumu sedari tadi.” Katanya dengan nada tegas, sembari menghirup aroma tanah yang telah lama tak disapa oleh hujan.  

Aku berdiam sejenak, dengan pikiran yang membingungkan, hal apa yang menarik sosok perempuan ini untuk menemui aku. “Aku dengar kabar dari temanku, dia banyak cerita tentang dirimu. Katanya kamu selalu gelisah karna melihat masalah yang begitu banyak di sekitarmu.” Sembari menggosokan kedua tangannya agar terasa hangat. Ehmm… Tentang perempuan mungkin?.” Tegurnya. Aku menarik nafas panjang, lalu perlahan ku hembuskan kembali. “Kita sama-sama perempuan. Pasti kamu tahu, bagaimana perasaan seorang perempuan ketika melihat masalah yang menimpah perempuan lainnya.  Sambarku masih dengan perasaan membingungkan.

Aku berpikir perjuangan perempuan masa silam tak ada yang sia-sia.     Sia-sia ketika perempuan di jaman modern ini tak lagi mampu mempertahankan perjuangan dan melanjutkannya. Begitu banyak perempuan dalam penindasan yang tak kunjung mendapatkan ampunan entah itu penindasan yang mengotori pikiran mereka    hedonisme kalangan mahasiswa karena gengsi    atapun rasa takut. Mungkin karna tekanan dari para elit kampus. Akibatnya pikiran-pikiran yang terbelenggu tak dapat lagi mampu berucap. Aku menatap Mayang, dengan pikiran yang begitu menumpuk. Aku bingung entah bagaimana menjelaskan kepadanya. Namun ini jelas kesempatan buat aku mengeluarkan segalah keluh kesahku terhadap perempuan-perempuan yang telah terlenah dalam lingkaran apatis. Terkhusus mereka yang mengaku dirinya sebagai Mahasiswa “moral force”.

Mayang sepertinya membaca pikiranku, dengan pikiran-pikiran membingungkan, yang masih saja senang menari-nari dibenaku. “Kamu tahu pada saat aku berada di posisimu, aku merasakan kesakitan sama seperti yang kamu rasakan seka.  . . .  perkataanya ku sambar. “Aku masih bertanya mengapa para perempuan pada umumnya masih saja terbalut dengan apatis”? tanyaku tergesah dengan memotong perkataanya. “Tak berani bersuara menuntut hak-haknya. Mereka masih saja sikap apatis. Dulu mahasiswi-mahasiswi menjadi lebih independen dan mandiri karena mereka memiliki banyak pengetahuan, pengalaman dan kecakapan-kecakapan, ditambah lagi dengan keberaniannya. Lah sekarang bagaimana?” . Tanyaku dengan suara sesak.

Aku berusaha menahan diriku, untuk tidak meluapkan emosiku kepada Mayang. Meskipun Mayang, mengetahui perasaanku. Hingga tak terasa, satu jam berlalu, hujan tak kunjung redah. Aku menawarkan Mayang menetap di sekret untuk malam ini, karna malam semakin larut. Mayang mengiyakan. Dan kami pun melanjutkan bincang-bincang, sembari mengeringkan pakaian yang mulai lembab. Kami berdua hanya mengenakkan pakaian dalam, sebab tidak ada pakaian cadangan di lemari sekret, melainkan selimut yang tersisa dari penginapan kemarin. Kami kembali berdiskusi, kumulai dengan mengajukan kembali pertanyaanku yang tadi belum sepenuhnya terjawab. Dengan mengabaikan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. “aku mencoba apatis, beberapa bulan yang lalu, tapi karna rasa sakit yang tak mampu kubendung, akhirnya aku memulai untuk memperdulikan mereka lagi. Mereka-mereka di sekelilingku”. Meskipun kata mereka aku kepo. Membuka perbincangan yang sesekali kaku. “Tapi karna mereka masih saja belum sadar sepenuhnya, akhirnya aku mengambil jalan pintas. Dengan mencoba mempelajari kemauan mereka. Namun itu sulit.” Sejenak aku terdiam, hening dan melihat Mayang.  Ternyata dia ketiduran, mungkin sangat lelah. Juga, aku pun mulai merebahkan tubuhku yang masih kedinginan dan kami masih mengenakkan pakaian dalam, dan hanya satu selimut kecil yang menutup tubuh kami. Perasaanku yang parno mulai tersisihkan. Akhirnya aku tertidur dengan pulasnya.

Mata hari pagi menyambutku dengan cahanya yang masuk keruang sekret melalui lobang-lobang jendela yang kecil. Hangatnya mulai terasa. Aku terbangun, pandanganku terlintas seketika mengarah ke jam dinding bergambarkan lambang FCB.
Jarum jam menunjukkan pukul 06 : 45, tepatnya tanggal 8 maret 2016, hari itu bertepatan dengan “HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL.” Aku terbangun dengan selimut yang masih terbungkus hangat di tubuhku. Mayang sepertinya lebih dulu bangun, dia telah beranjak dan meninggalkan beribu pertanyaan yang masih berada di benakku.
“Mayang meninggalkanku pergi begitu saja, dengan meninggalkan pertanyaan yang tak kunjung dijawabnya.”

Aku berkemas dan meninggalkan sekret untuk pulang kerumah. Membersihkan tubuhku yang sedikit berpasir sebab tertidur di lantai tanpa alas. Sembari berjalan kehalaman fakultas. Dari kejauhan terdengar suara teriakan dari balik gedung kampus yang tinggi, seakan memandangku dengan sinis. Memanggilku dengan nada yang membuatku merinding. Tapi rasa penasarannku lebih kuat dari pada rasa untuk cepat-cepat ingin pulang. Sesampainya aku di depan gedung tinggi itu, aku melihat Mayang bersama massa yang sedang aksi dengan membawa petaka-petaka bertuliskan celoteh-celoteh tentang perjuangan perempuan. Tapi anehnya aku mendapatkan begitu lebih banyak massa laki-laki, dibanding massa perempuan.

Aku mencoba melangkah lebih dekat. Namun sosok perempuan yang berada di sampingku berjalan, beriringan denganku.  Menegurku dengan tatapan yang tak begitu mengenakkan. “kamu salah satu di antara mereka?.” Tanyanya sesekali melempar pandangan kearah massa yang sedang asiknya aksi. "Aku mencoba melawan egoku, untuk tidak membalas pandangannya yang begitu kejam kepadaku. Perasaanku mengatakan hal itu “bukan, tapi mungkin sebentar lagi, berada dalam barisan mereka.” Perempuan itu tiba-tiba pergi, tanpa mengakatakan kata perpisahan. Aku mencoba mendekat dan memperlihatkan diriku kepada Mayang. “Semoga saja Mayang melihatku.” Ucapku dalam hati sambil mengangkat kepalaku. Namun Mayang masih saja belum memandangku, mungkin karna dia asik-asiknya aksi dengan memegang megaphone sambil meneriakkan keluh-kesahnya.  Berhasil, Mayang melihat dan menghampiriku, dengan megaphone di tangannya.

Dari saku bajunya, kutahu bahwa Mayang ternyata pimpinan dari lembaga kemahasiswaan di fakultasnya. Disitu tertera jabatannya “Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa”
Aku terkejut, sedikit kagum. Ternyata perempuan yang menungguku di selasar malam kemarin,  dengan senyumnya yang dingin, adalah seoarang Aktivis. “kamu. . . ?” tanyaku teerkejut. Mayang tertawa melihatku dengan wajah terkejut “kamu panas-panasan. sedang apa kamu disini?” hari itu terik, matahari semakin tinggi.
“dari kejauhan aku melihatmu, dan mendengar teriakan aspirasi- aspirasi tentang hak-hak perempuan.” Aku tertarik mendengarnya
“seperti itulah faktanya”
“Fakta apa?”
“Kekerasan perempuan, penindasan di mana-mana, dan tak patut mendapatkan pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya  perempuan, “katanya” hanya akan menjadi ibu rumah tangga kelak. Dapur, sumur, dan kasur.” Seperti itulah siklus perempuan, tak sedikit yang menilai itu.
Bagiku bukan suatu alasan sejauh ini harus turun aksi kan?
Bagimu, tapi bagiku!. Debat dangan nada mencoba bersahabat. Aku terdiam, dan menundukan kepalaku, sembari menarik nafas panjang.
“Kamu pulanglah, wajahmu berminyak.” Mencolek hidungku. Setelah itu kita bertemu di taman mawar,    taman tempat para perempuan penghibur kala malam   .”tapi bukannya tempat itu.?” Tanyaku dengan tak yakin.  “Aku tunggu malam nanti jam 10. Jangan sampai telat. Sambarnya.  Meninggalkanku dengan pandangan perhatian.

Kemudian aku pulang kerumah dan membersihkan tubuhku, membasuh wajahku yang berminyak. Dan kembali tertidur, hingga menjelang sore. Azan magrib berkumandang, aku terbangun kaget, mungkin akibat pikiran yang tak lelahnya menari-nari. Aku bersiap-siap untuk ketaman mawar. Jam menunjukkan pukul 09 : 21. Aku datang lebih awal untuk mencoba menghindar dari jebakan hujan lagi.
Aku tiba di taman mawar. Dikejauhan kulihat Mayang. Mengenakan pakain. Setengah terbuka orang-orang menyebutnya. Berpakaian namun sedikit telanjang. Mengenakan rok mini diatas lutut dengan belahan samping hingga ke bokong. Pakaian tanpa lengan, sedikit payudaranya terlihat ke atas. Kulihat dia bersama ketua jurusanku. Sepertinya  berusaha membujuk menemaninya tidur untuk beberapa malam.

Ingin meninggalkan taman mawar, namun lagi-lagi rasa penasaranku tak bisa diajak kompromi. Hingga akhirnya. Mayang melihatku dan mencoba menghampiriku. Sebab aku  terkejut dan berusaha menghindari tatapannya. “Intan, intan, tan. . .” panggilnya dengan nada marah.  “Aku bilang siang tadi, kita ketemu jam 10. Tapi kamu tidak bisa menepati janji”.
“aku tiba lebih awal, takut hujannya menjebak lagi”
“Alasan saja, buktinya tidak hujan!!”
“itu ketua jurusanku?” tanyaku. sambil menengok ke belakang.
“siapapun dia, saya tidak peduli”. Perjumpaan kami kali ini dipertemukan dengan perdebatan
“ayam kampus”. Kataku ketus
“siapapun aku tidak merugikan kamu”. Labraknya sinis, Mendengar perkataanku. Kemudian Mayang menarikku, membawaku keluar dari taman, menuju vila yang berada di sekitar taman mawar.
Setelah berada di vila, mayang membuka semua kebusukan para birokrasi, sekaligus juga menelanjangi kelakuan para aktivis kampus. Yang dengan mudahnya mereka diayar. Menjual idealisme kepada birokrasi, karena alasan kepentingan pribadi. Tak terasa sudah sejam berlalu kami berbincang.
“Meskipun aku dari keluarga borjuis, aku tak ingin membelenggu lisanku, meski satu katapun.”
“Lantas kenapa kamu menjadi ayam kampus”.? Sambarku hendak menggati topik yang sedikit monoton
“memepertahankan penindasan yang terjadi di dunia kampus itu bukan lelucon”. Mayang suntuk, dengan nada tersinggung. menjelaskan semua masalah yang terjadi dalam lingkup mahasiswa. Dari penjualan idealisme, penjualan nilai,  hingga penjualan diri. Ragamlah tak ada bedanya seperti pasar tradisional pada umumnya, yang berbaris di pinggir jalan.

Kang Maman     Maman Suherman - no tulen ILK   pernah berkata kepadaku, banyak perempuan yang tak ingin menjual tubuhnya, namun karna perekonomian yang memaksa harus melakoni dunia malam, bahkan rela direnggut nyawanya ketika tidak melayani para hidung belang. Seingatku. Tapi mengapa dengan mayang, borjuis, cerdas, cerdik, cantik. Masih senang menjadi ayam-ayam kampus?
“aku menjadi ayam-ayam kampus. bukan karna materi, tapi karna alasan bahwa dunia intelektual kini tak lagi perawan. Banyak dari mereka telah menghancurkan pendidikan karna jebakan politik praktis dan lainnya, lebih asik beronani gagasan.”
Aku pernah mendengar dialog. bahwasanya dunia mahasiswa itu suci, karna tak ada kepentingan yang bermain. Tapi kenyataannya saat ini, bukan hanya dari kalangan birokrasi melainkan juga dari kalangan kamipun juga bermain dengan indahnya. Menjadikan lembaga sebagai boneka yang setiap saat menari. Bahkan banyak dari kaum    mahasiswa, telah memainkan perannya untuk menguasai kelempok tertentu, karna gengsi dan merasa dirinya lebih dewasa dibandingkan dari yang lainnya.  “Pulanglah, hari sudah larut. istrahatlah, hentikan kegelisahanmu, tapi jangan beranjak dari tujuanmu  itu. Aku pergi, meninggalkan mayang. Dengan pikiran semakin gelisah. Yang tak mampu kebendung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar