Malam yang tak kuharapkan. Sebab,
hujan turun dan mengguyur tubuhku sehingga pakaiannku basah. Sembari berlari
untuk berteduh di selasar gedung BC ruang perkuliahan Terlihat
sosok perempuan di kejauhan sana, tampak sedang
memandang majalah dinding, sepertinya sedang menunggu seseorang. Dengan
senyumannya yang dingin, rambut panjangnya sengaja dibiarkan terurai hingga ke
pinggul. pakain yang juga basah akibat hujan yang tiba-tiba menjebak. Langkah
demi langkah, aku menghampiri perempuan di ujung selasar itu. Ku lihat dia yang
mulai menyandarkan badanya di balai bambu tempat diskusi para mahasiswa
Dengan rasa ragu dan sedikit
takut, Entah apa yang terlintas dibenakku sehingga aku memberanikan diri membalas
senyumnya yang dingin.
“Namaku Mayang, aku mahasiswa dari fakultas ungu.” Sapanya, membaca wajahku dengan mimik bertanya.
Mencoba menenangkan hati dengan rasa parno
yang menari-nari di pikiranku. Malam itu hujan sangat deras. Kami berusaha menghangatkan
badan dengan banyak hal yang kami bicarakan. Seputar perempuan di dunia kampus
dan penghuninya yang apatis terhadap masalah sosial yang terjadi di sekitar
kami.
“apa kepentinganmu. Sehingga kamu bisa sampai di fakultas
kuning ini?,” tanyaku masih dengan pikiran parno, dan cakap yang gugup. “Aku datang untuk menemuimu. Dan menunggumu
sedari tadi.” Katanya dengan nada tegas, sembari menghirup aroma tanah yang
telah lama tak disapa oleh hujan.
Aku berdiam sejenak, dengan pikiran
yang membingungkan, hal apa yang menarik sosok perempuan ini untuk menemui aku.
“Aku dengar kabar dari temanku, dia
banyak cerita tentang dirimu. Katanya kamu selalu gelisah karna melihat masalah
yang begitu banyak di sekitarmu.” Sembari menggosokan kedua tangannya agar
terasa hangat. Ehmm… Tentang perempuan
mungkin?.” Tegurnya. Aku menarik nafas panjang, lalu perlahan ku hembuskan
kembali. “Kita sama-sama perempuan. Pasti
kamu tahu, bagaimana perasaan seorang perempuan ketika melihat masalah yang
menimpah perempuan lainnya. Sambarku
masih dengan perasaan membingungkan.
Aku berpikir perjuangan perempuan masa silam tak ada
yang sia-sia. Sia-sia ketika perempuan di jaman modern ini
tak lagi mampu mempertahankan perjuangan dan melanjutkannya. Begitu banyak
perempuan dalam penindasan yang tak kunjung mendapatkan ampunan entah itu
penindasan yang mengotori pikiran mereka hedonisme kalangan mahasiswa karena
gengsi atapun rasa takut. Mungkin karna tekanan dari para elit kampus. Akibatnya pikiran-pikiran yang terbelenggu
tak dapat lagi mampu berucap. Aku menatap Mayang, dengan pikiran yang begitu
menumpuk. Aku bingung entah bagaimana menjelaskan kepadanya. Namun ini jelas
kesempatan buat aku mengeluarkan segalah keluh kesahku terhadap perempuan-perempuan
yang telah terlenah dalam lingkaran apatis. Terkhusus mereka yang mengaku
dirinya sebagai Mahasiswa “moral force”.
Mayang sepertinya membaca pikiranku, dengan pikiran-pikiran
membingungkan, yang masih saja senang menari-nari dibenaku. “Kamu tahu pada saat aku berada di posisimu,
aku merasakan kesakitan sama seperti yang kamu rasakan seka. . . . perkataanya
ku sambar. “Aku masih bertanya mengapa
para perempuan pada umumnya masih saja terbalut dengan apatis”? tanyaku
tergesah dengan memotong perkataanya. “Tak
berani bersuara menuntut hak-haknya. Mereka masih saja sikap apatis. Dulu
mahasiswi-mahasiswi menjadi lebih independen dan mandiri karena mereka memiliki
banyak pengetahuan, pengalaman dan kecakapan-kecakapan, ditambah lagi dengan
keberaniannya. Lah sekarang bagaimana?” . Tanyaku dengan suara sesak.
Aku berusaha menahan diriku, untuk tidak meluapkan
emosiku kepada Mayang. Meskipun Mayang, mengetahui perasaanku. Hingga tak
terasa, satu jam berlalu, hujan tak kunjung redah. Aku menawarkan Mayang
menetap di sekret untuk malam ini, karna malam semakin larut. Mayang
mengiyakan. Dan kami pun melanjutkan bincang-bincang, sembari mengeringkan pakaian
yang mulai lembab. Kami berdua hanya mengenakkan pakaian dalam, sebab tidak ada
pakaian cadangan di lemari sekret, melainkan selimut yang tersisa dari
penginapan kemarin. Kami kembali berdiskusi, kumulai dengan mengajukan kembali
pertanyaanku yang tadi belum sepenuhnya terjawab. Dengan mengabaikan rasa
dingin yang menusuk hingga ke tulang. “aku
mencoba apatis, beberapa bulan yang lalu, tapi karna rasa sakit yang tak mampu
kubendung, akhirnya aku memulai untuk memperdulikan mereka lagi. Mereka-mereka
di sekelilingku”. Meskipun kata mereka aku kepo. Membuka perbincangan yang sesekali kaku. “Tapi karna mereka masih saja belum sadar
sepenuhnya, akhirnya aku mengambil jalan pintas. Dengan mencoba mempelajari kemauan
mereka. Namun itu sulit.” Sejenak aku terdiam, hening dan melihat Mayang. Ternyata dia ketiduran, mungkin sangat lelah. Juga,
aku pun mulai merebahkan tubuhku yang masih kedinginan dan kami masih
mengenakkan pakaian dalam, dan hanya satu selimut kecil yang menutup tubuh
kami. Perasaanku yang parno mulai
tersisihkan. Akhirnya aku tertidur dengan pulasnya.
Mata hari pagi menyambutku dengan cahanya yang masuk
keruang sekret melalui lobang-lobang jendela yang kecil. Hangatnya mulai
terasa. Aku terbangun, pandanganku terlintas seketika mengarah ke jam dinding
bergambarkan lambang FCB.
Jarum jam menunjukkan pukul 06 : 45, tepatnya tanggal
8 maret 2016, hari itu bertepatan dengan “HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL.” Aku
terbangun dengan selimut yang masih terbungkus hangat di tubuhku. Mayang sepertinya
lebih dulu bangun, dia telah beranjak dan meninggalkan beribu pertanyaan yang
masih berada di benakku.
“Mayang meninggalkanku pergi begitu saja, dengan
meninggalkan pertanyaan yang tak kunjung dijawabnya.”
Aku berkemas dan meninggalkan sekret untuk pulang
kerumah. Membersihkan tubuhku yang sedikit berpasir sebab tertidur di lantai
tanpa alas. Sembari berjalan kehalaman fakultas. Dari kejauhan terdengar suara
teriakan dari balik gedung kampus yang tinggi, seakan memandangku dengan sinis.
Memanggilku dengan nada yang membuatku merinding. Tapi rasa penasarannku lebih
kuat dari pada rasa untuk cepat-cepat ingin pulang. Sesampainya aku di depan
gedung tinggi itu, aku melihat Mayang bersama massa yang sedang aksi dengan
membawa petaka-petaka bertuliskan celoteh-celoteh tentang perjuangan perempuan.
Tapi anehnya aku mendapatkan begitu lebih banyak massa laki-laki, dibanding
massa perempuan.
Aku mencoba melangkah lebih dekat. Namun sosok
perempuan yang berada di sampingku berjalan, beriringan denganku. Menegurku dengan tatapan yang tak begitu
mengenakkan. “kamu salah satu di antara
mereka?.” Tanyanya sesekali melempar pandangan kearah massa yang sedang
asiknya aksi. "Aku mencoba melawan egoku, untuk tidak membalas pandangannya
yang begitu kejam kepadaku. Perasaanku mengatakan hal itu “bukan, tapi mungkin sebentar lagi, berada dalam barisan mereka.” Perempuan
itu tiba-tiba pergi, tanpa mengakatakan kata perpisahan. Aku mencoba mendekat
dan memperlihatkan diriku kepada Mayang. “Semoga
saja Mayang melihatku.” Ucapku dalam hati sambil mengangkat kepalaku. Namun
Mayang masih saja belum memandangku, mungkin karna dia asik-asiknya aksi dengan
memegang megaphone sambil meneriakkan keluh-kesahnya. Berhasil, Mayang melihat dan menghampiriku,
dengan megaphone di tangannya.
Dari saku bajunya, kutahu bahwa Mayang ternyata
pimpinan dari lembaga kemahasiswaan di fakultasnya. Disitu tertera jabatannya
“Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa”
Aku terkejut, sedikit kagum. Ternyata perempuan yang
menungguku di selasar malam kemarin, dengan senyumnya yang dingin, adalah seoarang
Aktivis. “kamu. . . ?” tanyaku
teerkejut. Mayang tertawa melihatku dengan wajah terkejut “kamu panas-panasan. sedang apa kamu disini?” hari itu terik,
matahari semakin tinggi.
“dari kejauhan aku melihatmu, dan mendengar teriakan
aspirasi- aspirasi tentang hak-hak perempuan.” Aku tertarik mendengarnya
“seperti itulah faktanya”
“Fakta apa?”
“Kekerasan perempuan, penindasan di mana-mana, dan tak
patut mendapatkan pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya perempuan, “katanya” hanya akan menjadi ibu
rumah tangga kelak. Dapur, sumur, dan kasur.” Seperti itulah siklus perempuan, tak
sedikit yang menilai itu.
Bagiku bukan suatu alasan sejauh ini harus turun aksi
kan?
Bagimu, tapi bagiku!. Debat dangan nada mencoba
bersahabat. Aku terdiam, dan menundukan kepalaku, sembari menarik nafas panjang.
“Kamu pulanglah, wajahmu berminyak.” Mencolek hidungku. Setelah itu kita bertemu di taman mawar, taman tempat para perempuan penghibur
kala malam .”tapi bukannya
tempat itu.?” Tanyaku dengan tak yakin. “Aku
tunggu malam nanti jam 10. Jangan sampai telat. Sambarnya. Meninggalkanku dengan pandangan perhatian.
Kemudian aku pulang kerumah dan membersihkan tubuhku,
membasuh wajahku yang berminyak. Dan kembali tertidur, hingga menjelang sore. Azan
magrib berkumandang, aku terbangun kaget, mungkin akibat pikiran yang tak
lelahnya menari-nari. Aku bersiap-siap untuk ketaman mawar. Jam menunjukkan
pukul 09 : 21. Aku datang lebih awal untuk mencoba menghindar dari jebakan
hujan lagi.
Aku tiba di taman mawar. Dikejauhan kulihat Mayang.
Mengenakan pakain. Setengah terbuka orang-orang menyebutnya. Berpakaian namun sedikit
telanjang. Mengenakan rok mini diatas lutut dengan belahan samping hingga ke
bokong. Pakaian tanpa lengan, sedikit payudaranya terlihat ke atas. Kulihat dia
bersama ketua jurusanku. Sepertinya berusaha
membujuk menemaninya tidur untuk beberapa malam.
Ingin meninggalkan taman mawar, namun lagi-lagi rasa
penasaranku tak bisa diajak kompromi. Hingga akhirnya. Mayang melihatku dan
mencoba menghampiriku. Sebab aku terkejut
dan berusaha menghindari tatapannya. “Intan,
intan, tan. . .” panggilnya dengan nada marah. “Aku
bilang siang tadi, kita ketemu jam 10. Tapi kamu tidak bisa menepati janji”.
“aku tiba lebih awal, takut hujannya menjebak lagi”
“Alasan saja, buktinya tidak hujan!!”
“itu ketua jurusanku?” tanyaku. sambil menengok ke
belakang.
“siapapun dia, saya tidak peduli”. Perjumpaan kami kali ini dipertemukan
dengan perdebatan
“ayam kampus”. Kataku ketus
“siapapun aku tidak merugikan kamu”. Labraknya sinis, Mendengar perkataanku. Kemudian Mayang menarikku, membawaku keluar
dari taman, menuju vila yang berada di sekitar taman mawar.
Setelah berada di vila, mayang membuka semua kebusukan
para birokrasi, sekaligus juga menelanjangi kelakuan para aktivis kampus. Yang dengan
mudahnya mereka diayar. Menjual idealisme kepada birokrasi, karena alasan kepentingan
pribadi. Tak terasa sudah sejam berlalu kami berbincang.
“Meskipun aku dari keluarga borjuis, aku tak ingin
membelenggu lisanku, meski satu katapun.”
“Lantas kenapa kamu menjadi ayam kampus”.? Sambarku hendak menggati topik yang
sedikit monoton
“memepertahankan penindasan yang terjadi di dunia
kampus itu bukan lelucon”. Mayang suntuk, dengan nada tersinggung. menjelaskan
semua masalah yang terjadi dalam lingkup mahasiswa. Dari penjualan idealisme,
penjualan nilai, hingga penjualan diri.
Ragamlah tak ada bedanya seperti pasar tradisional pada umumnya, yang berbaris
di pinggir jalan.
Kang Maman Maman
Suherman - no tulen ILK pernah berkata kepadaku, banyak perempuan yang tak ingin menjual tubuhnya, namun karna
perekonomian yang memaksa harus melakoni dunia malam, bahkan rela direnggut nyawanya ketika tidak melayani para hidung
belang. Seingatku. Tapi mengapa dengan mayang, borjuis, cerdas, cerdik,
cantik. Masih senang menjadi ayam-ayam kampus?
“aku menjadi ayam-ayam kampus. bukan karna materi,
tapi karna alasan bahwa dunia intelektual kini tak lagi perawan. Banyak dari
mereka telah menghancurkan pendidikan karna jebakan politik praktis dan
lainnya, lebih asik beronani gagasan.”
Aku pernah mendengar dialog. bahwasanya dunia
mahasiswa itu suci, karna tak ada kepentingan yang bermain. Tapi kenyataannya
saat ini, bukan hanya dari kalangan birokrasi melainkan juga dari kalangan
kamipun juga bermain dengan indahnya. Menjadikan lembaga sebagai boneka yang setiap
saat menari. Bahkan banyak dari kaum mahasiswa, telah memainkan perannya
untuk menguasai kelempok tertentu, karna gengsi dan merasa dirinya lebih dewasa
dibandingkan dari yang lainnya. “Pulanglah, hari sudah larut. istrahatlah,
hentikan kegelisahanmu, tapi jangan beranjak dari tujuanmu itu. Aku pergi, meninggalkan mayang.
Dengan pikiran semakin gelisah. Yang tak mampu kebendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar